Pendahuluan
A. Latar
Belakang
Pembahasan mengenai peranan keluarga
di dalam lingkungan sosial dan dilakukan dengan mempergunakan sosiologi dan
ilmu hukum sebagai sarana pendekatan. Artinya untuk menjelaskan masalah itu
akan dipergunakan konsep-konsep dasar yang lazim dipergunakan dalam sosiologi
dan ilmu hukum.
Pendekatan secara sosiologi bertitik
tolak pada pandangan bahwa manusia pribadi senantiasa mempunyai kecenderungan
untuk hidup bersama dengan sesamanya. Oleh karena itu pendekatan sosiologi
bertitik tolak pada proses interaksi sosial yang merupakan hubungan saling
pengaruh mempengaruhi antara pribadi-pribadi, kelompok-kelompok maupun pribadi
dengan kelompok.
Dari kehidupan berinteraksi ini
muncul kehidupan berkelompok antara orang-orang yang mempunyai kepentingan yang
sama. Kelompok hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa.
Kebudayaan menimbulkan lembaga-lembaga sosial yang merupakan kesatuan kaidah-kaidah
dari segala tingkatan yang berkisar pada satu atau beberapa kebutuhan pokok.
Selanjutnya akan timbul
lapisan-lapisan dalam masyarakat yang merupakan pencerminan adanya perbedaan
kedudukan dan peranan. Gejala itu menjadi landasan tumbuhnya kekuatan dan
wewenang.
Pengetahuan mengenai struktur
masyarakat saja kiranya belum cukup memadai untuk menggambarkan kehidupan
bersama manusia secara nyata. Struktur masyarakat barulah menggambarkan
kehidupan bersama manusia dalam segi yang statik. Agar dapat mengetahui
gambaran yang lebih lengkap dan realistik mengenai kehidupan bersama manusia
ini, kita perlu melengkapi diri dengan pengetahuan-pengetahuan mengenai
proses-proses sosial yang terjadi dan terdapat di dalam masyarakat. Pengetahuan
mengenai proses-proses sosial ini akan memungkinkan seseorang untuk memahami
segi-segi dinamika suatu masyarakat.
Dalam
masyarakat luas terdapat berbagai lembaga-lembaga (pranata-pranata) seperti
lembaga keluarga, lembaga pendidikan, lembaga ekonomi, lembaga agama, dan
lembaga lainnya. Dwi dan Bagong (2004:227), keluarga adalah lembaga sosial
dasar darimana semua lembaga atau pranata sosialnya berkembang. Di masyarakat
manapun di dunia, keluarga merupakan kebutuhan manusia yang universal dan
menjadi pusat terpenting dari kegiatan dalam kehidupan individu. Keluarga dapat
digolongkan ke dalam kelompok penting, selain karena para anggotanya saling
mengadakan kontak langsung juga karena adanya keintiman dari para anggotanya.
Pranata keluarga merupakan sistem
norma dan tata cara yang diterima untuk menyesuaikan beberapa tugas penting.
Keluarga berperan membina anggota-anggotanya untuk beradaptasi dengan
lingkungan fisik maupun lingkungan budaya di mana ia berada. Bila semua anggota
sudah mampu untuk beradaptasi dengan lingkungan di mana ia tinggal, maka
kehidupan masyarakat akan tercipta menjadi kehidupan yang tenang, aman dan
tenteram.
Dengan demikian, keluarga pun
berfungsi sebagai pusat sosialisasi pertama dalam kehidupan setiap individu
sebelum memasuki dunia masyarakat yang lebih luas. Tentunya proses sosialisasi
dalam keluarga adalah sesuatu yang sifatnya sangat penting dalam mendukung
proses-proses sosial yang akan terjadi pada individu (anggota keluarga)
tersebut. Untuk melihat bagaimana proses sosialisasi yang terjadi dalam keluarga,
maka akan dibahas pada bab berikutnya.
B. Peranan
Keluarga Dalam Proses Sosialisasi Anak
Keluarga merupakan media awal dari
suatu proses sosialisasi. Begitu seorang bayi dilahirkan, ia sudah berhubungan
dengan kedua orang tuanya, kakak-kakaknya, dan mungkin dengan saudara dekat
lainnya. Sebagai anggota keluarga yang baru dilahirkan, ia sangat tergantung
pada perlindungan dan bantuan anggota-anggota keluarganya. Proses sosialisasi
awal ini dimulai dengan proses belajar menyesuaikan diri dan mengikuti setiap
apa yang diajarkan oleh orang-orang dekat sekitar lingkungan keluarganya,
seperti belajar makan, berbicara, berjalan, hingga belajar bertindak dan
berperilaku.
Khairuddin (2002), mengemukakan
bahwa proses sosialisasi adalah proses belajar, yaitu proses akomodasi dengan
mana individu menahan, mengubah impuls-impuls dalam dirinya dan mengambil cara
hidup atau kebudayaan masyarakatnya. Dalam proses sosialisasi itu individu
mempelajari kebiasaan, sikap, ide-ide, pola-pola, nilai dan tingkah laku dalam
masyarakat di mana ia hidup. Markum (1983) juga mengungkapkan bahwa proses
sosialisasi adalah suatu proses di mana seseorang (anak) dituntut untuk
bertingkah laku sesuai dengan norma atau adat istiadat yang berlaku di
lingkungan sosialnya.
Ahmadi
(2004), keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenalkan kepada
anak. Dalam keluarga, orangtua mengenalkan nilai-nilai kebudayaan kepada anak
dan di sinilah dialami interaksi dan disiplin pertama yang dikenalkan kepadanya
dalam kehidupan sosial. Adanya interaksi antara anggota keluarga yang satu
dengan yang lain menyebabkan seorang anak menyadari dirinya sebagai individu
dan sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, dalam keluarga anak akan
menyesuaikan diri dengan kehidupan bersama, yaitu saling tolong menolong dan
mempelajari adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat. Hal tersebut akan
diperkenalkan oleh orang tua yang akhirnya dimiliki oleh anak. Perkembangan
seorang anak di dalam keluarga sangat ditentukan oleh kondisi situasi keluarga
dan pengalaman-pengalaman yang dimiliki orangtuanya.
Keluarga
merupakan institusi yang paling penting pengaruhnya terhadap proses sosialisasi
individu atau seseorang. Kondisi-kondisi yang menyebabkan pentingnya peranan
keluarga dalam proses sosialisasi anak, ialah:
a. Keluarga
merupakan kelompok kecil yang anggota-anggotanya berinteraksi face to face secara
tetap. Dalam kelompok yang demikian perkembangan anak dapat diikuti dengan
seksama oleh orang tuanya dan penyesuaian secara pribadi dalam hubungan sosial
lebih mudah terjadi.
b. Orang tua
mempunyai motivasi yang kuat untuk mendidik anak karena merupakan buah cinta
kasih hubungan suami isteri. Anak merupakan perluasan biologis dan sosial orang
tuanya. Motivasi kuat ini melahirkan hubungan emosional antara orang tua dengan
anak. Penelitian-penelitian membuktikan bahwa hubungan emosional lebih berarti
dan efektif daripada hubungan intelektual dalam proses sosialisasi.
c. Oleh
karena hubungan sosial di dalam keluarga itu bersifat relatif tetap, maka orang
tua memainkan peranan sangat penting terhadap proses sosialisasi anak.
Dalam keluarga, orang tua
mencurahkan perhatian untuk mendidik anaknya agar anak tersebut memperoleh
dasar-dasar pola pergaulan hidup yang benar melalui penanaman disiplin sehingga
membentuk kepribadian yang baik bagi si anak. Oleh karena itu, orang tua sangat
berperan untuk:
1. Selalu dekat dengan anak-anaknya,
2. Memberi pengawasan dan
pengendalian yang wajar, sehingga jiwa anak tidak merasa tertekan,
3. Mendorong agar anak dapat
membedakan antara benar dan salah, baik dan buruk, pantas dan tidak pantas dan
sebagainya,
4. Ibu dan ayah dapat membawakan
peran sebagai orang tua yang baik serta menghindarkan perbuatan dan perlakuan
buruk serta keliru di hadapan anak-anaknya, dan
5. Menasihati anak-anaknya jika
melakukan kesalahan serta menunjukkan dan mengarahkan mereka ke jalan yang
benar.
Apabila terjadi suatu kondisi yang
berlainan dengan hal di atas, maka anak-anak akan mengalami kekecewaan. kondisi
tersebut disebabkan oleh beberapa hal antara lain:
1. Orang tua kurang memperhatikan
anak-anaknya, terlalu sibuk dengan kepentingan-
kepentingannya, sehingga anak merasa diabaikan, hubungan anak dengan orang tua menjadi jauh, padahal anak sangat memerlukan kasih sayang mereka, dan
kepentingannya, sehingga anak merasa diabaikan, hubungan anak dengan orang tua menjadi jauh, padahal anak sangat memerlukan kasih sayang mereka, dan
2. Orang tua terlalu memaksakan
kehendak dan gagasannya kepada anak sehingga sang anak menjadi tertekan
jiwanya.
Sosialisasi
dari orangtua sangatlah penting bagi anak, karena anak masih terlalu muda dan
belum memiliki pengalaman untuk membimbing perkembangannya sendiri ke arah
kematangan. J. Clausen mendiskripsikan tentang upaya yang dilakukan orangtua
dalam rangka sosialisasi dan perkembangan sosial yang dicapai anak, yaitu
sebagai berikut:
Tabel 1.
Sosialisasi dan Perkembangan Anak
Kegiatan Orangtua
|
Pencapaian Perkembangan
Perilaku Anak
|
1. Memberikan makanan dan
memelihara kesehatan fisik anak
2. Melatih dan menyalurkan
kebutuhan fisiologis: toilet training (melatih membuang air
besar/kecil), menyapih dan memberikan makanan padat.
3. Mengajar dan melatih
keterampilan berbahasa, persepsi, fisik, merawat diri dan keamanan diri.
4.Mengenalkan lingkungan kepada
anak: keluarga, sanak keluarga, tetangga dan masyarakat sekitar.
5. Mengajarkan tentang budaya,
nilai-nilai (agama) dan mendorong anak untuk menerimanya sebagai bagian
dirinya.
6. Mengembangkan keterampilan
interpersonal, motif, perasaan, dan perilaku dalam berhubungan dengan orang
lain.
7. Membimbing, mengoreksi, dan
membantu anak untuk merumuskan tujuan dan merencanakan aktivitasnya.
|
1. Mengembangkan sikap percaya
terhadap orang lain (development of trust).
2. Membantu mengendalikan dorongan
biologis dan belajar untuk menyalurkannya pada tempat yang diterima
masyarakat.
3. Belajar mengenal objek-objek,
belajar berbahasa, berjalan, mengatasi hambatan, berpakaian, dan makan.
4. Mengembangkan pemahaman tentang
tingkah laku sosial, belajar menyesuaikan perilaku dengan tuntutan
lingkungan.
5.Mengembangkan pemahaman tentang
bauk-buruk, merumuskan tujuan dan kriteria pilihan dan berperilaku yang baik.
6.Belajar memahami perspektif
(pandangan) orang lain dan merespons harapan/ pendapat mereka secara
selektif.
7.Memiliki pemahaman untuk
mengatur diri dan memahami kriteria untuk menilai penampilan/ perilaku
sendiri.
|
Cara-cara
dan sikap-sikap dalam keluarga juga memegang peranan penting dalam perkembangan
sosial anak. Jika orangtua selalu bersikap otoriter, maka anak akan berkembang
menjadi manusia pasif, tak berinisiatif, dan kurang percaya diri. Sedangkan
jika orangtua dalam keluarga bertindak demokratis, maka anak berkembang menjadi
tidak takut, penuh dengan inisiatif, memiliki rasa tanggung jawab, dan percaya
diri.
Hariyadi, dkk (2003) menyatakan
bahwa pola asuh demokratis dengan suasana yang diliputi keterbukaan lebih
memberikan peluang bagi remaja untuk melakukan proses penyesuaian diri secara
efektif dibandingkan dengan pola asuh otoriter maupun pola asuh yang penuh
kebebasan. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa sikap dan
kebiasaan-kebiasaan orangtua dalam keluarga menjadi sikap dan kebiasaan yang
dimiliki anak.
C. Pola
Sosialisasi di Lingkungan Keluarga
Dalam lingkungan keluarga kita
mengenal dua macam pola sosialisasi, yaitu pertama, cara represif (repressive
socialization) yang mengutamakan adanya ketaatan anak pada orang tua, Sosialisasi
represif (repressive socialization) menekankan pada penggunaan hukuman
terhadap kesalahan. Ciri lain dari sosialisasi represif adalah penekanan pada
penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan. Penekanan pada kepatuhan anak dan
orang tua. Penekanan pada komunikasi yang bersifat satu arah, nonverbal dan
berisi perintah, penekanan sosialisasi terletak pada orang tua dan keinginan
orang tua, dan peran keluarga sebagai significant other.
Kedua, cara partisipasi (participatory
socialization) yang mengutamakan adanya partisipasi dari anak. Sosialisasi
partisipatoris (participatory socialization) merupakan pola di mana anak
diberi imbalan ketika berprilaku baik. Selain itu, hukuman dan imbalan bersifat
simbolik. Dalam proses sosialisasi ini anak diberi kebebasan. Penekanan
diletakkan pada interaksi dan komunikasi bersifat
lisan yang menjadi pusat sosialisasi adalah anak dan keperluan anak. Keluarga
menjadi generalized other.
1.
Sosialisasi represif (repressive socialization) antara lain:
a. Menghukum perilaku yang keliru,
b. Hukuman dan imbalan material
c. Kepatuhan anak.
2.
Sosialisasi partisipasi (participatory socialization) antara lain:
a. Otonomi anak
b. Komunikasi sebagai interaksi
c. Komunikasi verbal.
Keseluruhan sistem belajar mengajar berbagai bentuk
sosialisasi dalam keluarga bisa disebut sistem pendidikan keluarga. Sistem
pendidikan keluarga dilaksanakan melalui pola asuh yaitu suatu pola untuk menjaga,merawat,
dan membesarkan anak. Pola ini tentu saja tidak dimaksudkan pola mengasuh anak
yang dilakukan oleh perawat atau baby sitter, seperti yang sering dilakukan
oleh kalangan keluarga elit/kaya di kota-kota besar.
Pola mengasuh anak di dalam keluarga sangat
dipengaruhi oleh sistem nilai, norma, dan adat istiadat yang berlaku pada
masyarakat tempat keluarga itu tinggal. Jadi, kepribadian dan pola perilaku
yang terdapat pada berbagai masyarakat suku bangsa sangat beragam coraknya.
D. Tujuan
Sosialisasi Dalam Keluarga
Secara
mendasar terdapat tiga tujuan sosialisasi di dalam keluarga, yakni sebagai
berikut:
a. Penguasaan diri
Masyarakat
menuntut penguasaan diri pada anggota-anggotanya. Proses mengajar anak untuk
menguasai diri ini dimulai pada waktu orang tua melatih anak untuk memelihara
kebersihan dirinya. Ini merupakan tuntutan sosial pertama yang dialami oleh
anak untuk latihan penguasaan diri. Tuntutan penguasaan diri ini berkembang,
dari yang bersifat fisik kepada penguasaan diri secara emosional. Anak harus
belajar menahan kemarahannya terhadap orang tua atau saudarasaudaranya.
Tuntutan sosial yang menuntut agar anak menguasai diri merupakan pelajaran yang
berat bagi anak.
b. Nilai-nilai
Bersama-sama
dengan proses berlatih penguasaan diri ini kepada anak diajarkan nilai-nilai.
Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa nilai-nilai dasar dalam diri seseorang
terbentuk pada usia enam tahun. Di dalam perkembangan usia tersebut keluarga
memegang peranan terpenting dalam menanamkan nilai-nilai. Sebagai contoh
melatih anak menguasai diri agar permainannya dapat dpinjamkan kepada temannya,
maka di situ dapat muncul suatu makna tentang arti dari kerja sama. Mengajarkan
anak menguasai diri agar tidak bermain-main dahulu sebelum menyelesaikan
pekerjaan rumahnya, maka disitu mengandung ajaran tentang nilai sukses dalam
pekerjaan.
c. Peran-peran sosial
Mempelajari
peran-peran sosial ini terjadi melalui interaksi sosial dalam keluarga. Setelah
dalam diri anak berkembang kesadaran diri sendiri yang membedakan dirinya
dengan orang lain, dia mulai mempelajari peranan-peranan sosial yang sesuai
dengan gambaran tentang dirinya. Dia mempelajari peranannya sebagai anak,
sebagai saudara (kakak/adik), sebagai laki-laki/perempuan, dan sebagainya.
Proses mempelajari peran-peran sosial ini kemudian dilanjutkan di lingkungan
kelompok sebaya, sekolah, perkumpulan-perkumpulan dan lain sebagainya.
E. Ciri yang Melekat Pada Keluarga
Keluarga
merupakan lingkup kehidupan yang paling berpengaruh terhadap perjalanan seorang
individu, maka peran keluarga dalam hubungan sosialisasi anak juga dipengaruhi
oleh ciri yang melekat di dalam keluarga tersebut. Anak yang tumbuh kembang
menjadi seorang pribadi yang utuh merupakan cerminan dari hubungan antara kedua
aspek tersebut. Ciri yang melekat pada keluarga itu dapat di bagi menjadi dua
yakni sebagai berikut.:
a. Aspek
Internal (Corak Hubungan antara Orang Tua dan Anak)
Para ahli
sepakat bahwa cara meresepnya nilai-nilai sosial ke dalam diri individu dalam
awal perkembangan kepribadiannya diperoleh melalui hubungan-hubungannya dengan
manusia-manusia dewasa, khususnya orang tua. Nilai-nilai dan pola tingkah laku
diinternalisasikan ke dalam diri anak hanya bisa tercakup dalam konteks
hubungan yang intensif, melibatkan partisipasi lahir maupun batin, face to
face dan kontinu. Dalam hal ini tentunya corak hubungan yang mampu
memproduk pribadi seorang individu satu-satunya diperankan oleh lembaga
keluarga. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fels Research Institute,
pola hubungan orang tua-anak dapat dibedakan menjadi tiga yaitu,:
1) Pola
menerima-menolak, pola ini didasarkan atas taraf kemesraan orang tua terhadap
anak,
2) Pola
memiliki-melepaskan, pola ini didasarkan atas seberapa besar sikap protektif
orang tua terhadap anak. Pola ini bergerak dari sikap orang tua yang overprotektif
dan memiliki anak sampai kepada sikap mengabaikan anak sama sekali, dan
3) Pola
demokrasi-otokrasi, pola ini didasarkan atas taraf partisipasi anak
dalam menentukan kegiatan-kegiatan dalam keluarga. Pola otokrasi berarti orang
tua bertindak sebagai diktator terhadap anak, sedangkan pola demokrasi, sampai
batas-batas tertentu dapat melibatkan partisipasi anak untuk menentukan
keputusan-keputusan keluarga.
Anak yang
dibesarkan dalam keluarga yang bersuasana demokratis, memiliki karakter
perkembangan yang luwes dan dapat menerima kekuasaan secara rasional.
Sebaliknya anak yang dibesarkan dalam suasana keluarga otoriter, memandang
kekuasaan sebagai sesuatu yang harus ditakuti dan bersifat sakral. Tentu saja
akibat pola-pola hubungan antar anggota keluarga tersebut dapat membentuk suatu
wujud kepribadian-kepribadian tertentu kepada sang anak. Dalam pola otoriter
misalnya, anak akan berkembang menjadi individu yang penakut atau tunduk kepada
peraturan secara membabi buta, bahkan jika hal itu mengisahkan suatu tragedi
maka sang anak akan menjadi manusia patologis yang selalu menentang kekuasaan.
b. Aspek
Sosial
Aspek ini
menyangkut status sosial yang dimiliki oleh keluarga tersebut di dalam struktur
dan status kehidupan masyarakatnya. Secara internal hubungan orang tua yang
menyandang status pekerjaan dan kedudukan sosial tertentu di dalam
masyarakatnya dapat juga mempengaruhi karakter kepribadian dalam mendidik anak.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Universitas Chicago sekitar tahun
1940-an menyimpulkan bahwa keluarga kelas sosial menengah kurang menerapkan
hukuman badan, lebih mendorong tercapainya prestasi, dan memberikan tanggung
jawab secara leluasa dan bebas kepada sang anak. Latar belakang perilaku dan
pola-pola tindakan yang diterapkan oleh orang tua dalam menerapkan metode
interaksi pendidikan terhadap sang anak ternyata juga merupakan hasil pengaruh
dari kelas sosial yang dimiliki oleh keluarga. Salah satu alasan penting yang
menimbulkan perbedaan itu adalah alasan ekonomi.
1) Keluarga
kelas sosial bawah umumnya memiliki banyak anak, penghasilan kecil, hidup di
dalam rumah yang penuh sesak. Dalam kondisi demikian anak dituntut untuk patuh,
tidak boleh ribut, tidak boleh terlalu berinisiatif agar tidak menimbulkan
banyak resiko bagi keluarga. Sebaliknya keluarga kecil, keadaan ekonominya
lebih baik; keluarga demikian memberi kesempatan kepada anak untuk memiliki
inisiatif, apresiasi dan kreativitas yang cukup tinggi.
2) Orang tua
dari kelas bawah memiliki kedudukan pekerjaan yang rendah. Sebagai bawahan
mereka terbiasa bersikap patuh dan tunduk pada atasannya. Sikap ini secara
tidak sadar terpancar dalam proses mendidik anak-anaknya di rumah.
Kesimpulan
Keluarga adalah basis pendidikan
yang paling utama, dan orang tua merupakan figur utama pendidik dalam keluarga.
Keteladanan orang tua merupakan pola pendidikan yang paling ringkas, simpel dan
efektif. Kasih sayang dan komunikasi antar anggota keluarga ditambah dengan
contoh nyata dari figur orang tua merupakan unsur penting dalam mendidik buah
hati kita. Orang tua yang luar biasa adalah orang tua yang disegani, ditaati
dan diteladani oleh anak-anaknya.
Keluarga berfungsi sebagai miniatur masyarakat yang
mensosialisasikan nilai-nilai atau peran-peran hidup dalam masyarakat yang
harus dilaksanakan oleh para anggotanya. Dalam keluarga, orang tua
mencurahkan perhatian untuk mendidik anaknya agar anak tersebut memperoleh
dasar-dasar pola pergaulan hidup yang benar melalui penanaman disiplin sehingga
membentuk kepribadian yang baik bagi si anak.
Fungsi sosialisasi dalam keluarga adalah untuk
mendidik anak mulai dari awal sampai pertumbuhan anak hingga terbentuk
personality-nya. Anak-anak itu lahir tanpa bekal sosial, agar si anak dapat
berpartisipasi maka harus disosialisasikan oleh orang tuanya tentang
nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Jadi, dengan kata lain, anak-anak harus
belajar norma-norma mengenai apa yang senyatanya baik dan norma-norma yang
tidak layak dalam masyarakat. Berdasarkan hal ini, maka anak-anak harus
memperoleh standar tentang nilai-nilai apa yang diperbolehkan, apa yang tidak
diperbolehkan, apa yang baik, yang indah, yang patut, dan sebagainya. Mereka
harus dapat berkomunikasi dengan anggota masyarakat lainnya dengan menguasai
sarana-sarananya.
Dalam keluarga, anak-anak mendapatkan segi-segi utama
dari kepribadiannya, tingkah lakunya, tingkah pekertinya, sikapnya, dan reaksi emosionalnya.
Oleh karena itulah keluarga merupakan perantara di antara masyarakat luas dan
individu. Perlu diketahui bahwa kepribadian seseorang itu diletakkan pada waktu
yang sangat muda dan yang berpengaruh besar sekali terhadap kepribadian
seseorang adalah keluarga, khususnya seorang ibu.
Dalam
lingkungan keluarga kita mengenal dua macam pola sosialisasi, yaitu pertama,
cara represif (repressive socialization) dan cara partisipasi (participatory
socialization). Secara mendasar terdapat tiga tujuan sosialisasi di dalam
keluarga, yakni: penguasaan diri, nilai-nilai, dan peran-peran sosial.
0 Komentar untuk "PROSES SOSIALISASI DALAM KELUARGA"