Hukum yang Memperbolehkan
Hukum Arisan Secara Umum, termasuk muamalat yang
belum pernah disinggung di dalam Al Qur’an dan as Sunnah secara langsung, maka
hukumnya dikembalikan kepada hukum asal muamalah, yaitu dibolehkan
Berkata Ibnu Taimiyah di dalam Majmu’ al Fatawa:
“Tidak boleh mengharamkan muamalah yang dibutuhkan manusia sekarang, kecuali
kalau ada dalil dari al Qur’an dan Sunnah tentang pengharamannya“ Para ulama
tersebut berdalil dengan al Qur’an dan Sunnah sebagai berikut :
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُم مَّا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَة
“ Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah
telah memudahkan untuk kamu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di
bumi; dan Ia telah sempurnakan buat kamu nikmat-nikmatNya yang nampak maupun
yang tidak nampak.” ( Qs Luqman : 20)
Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah swt memberikan
semua yang ada di muka bumi ini untuk kepentingan manusia, para ulama
menyebutnya dengan istilah ( pemberian ). Oleh karenanya, segala sesuatu yang
berhubungan dengan muamalat pada asalnya hukumnya adalah mubah kecuali ada
dalil yang menyebutkan tentang keharamannya. Dalam masalah “ arisan “
tidak kita dapatkan dalil baik dari al Qur’an maupun dari as Sunnah yang
melarangnya, berarti hukumnya mubah atau boleh.
Hadist di atas secara jelas menyebutkan bahwa sesuatu
( dalam muamalah ) yang belum pernah disinggung oleh Al Qur’an dan Sunnah
hukumnya adalah ( pemberian ) dari Allah atau sesuatu yang boleh. Firman Allah
swt :
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“ Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran.“ (Qs Al-Maidah:2)
Ayat di atas memerintahkan kita untuk saling tolong
menolong di dalam kebaikan, sedang tujuan “arisan” itu sendiri adalah menolong
orang yang membutuhkan dengan cara iuran secara rutin dan bergiliran untuk
mendapatkannya, maka termasuk dalam katagori tolong menolong yang diperintahkan
Allah swt. Hadist Aisyah ra, ia berkata :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ فَطَارَتْ الْقُرْعَةُ عَلَى عَائِشَةَ وَحَفْصَةَ فَخَرَجَتَا مَعَهُ جَمِيعًا
"Rasullulah SAW apabila pergi, beliau mengadakan undian di antara istri-istrinya, lalu jatuhlah undian itu pada Aisyah dan Hafsah, maka kami pun bersama beliau." ( HR Muslim)
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ فَطَارَتْ الْقُرْعَةُ عَلَى عَائِشَةَ وَحَفْصَةَ فَخَرَجَتَا مَعَهُ جَمِيعًا
"Rasullulah SAW apabila pergi, beliau mengadakan undian di antara istri-istrinya, lalu jatuhlah undian itu pada Aisyah dan Hafsah, maka kami pun bersama beliau." ( HR Muslim)
Hadist di atas menunjukkan kebolehan untuk melakukan
undian, tentunya yang tidak mengandung perjudian dan riba. Di dalam arisan juga
terdapat undian yang tidak mengandung perjudian dan riba, maka hukumnya boleh.
Hukum yang Tidak Memperbolehkan
Untuk mempertegas makna istitha'ah, para pakar hukum
Islam (fuqaha') telah menerangkan di dalam kitab-kitab fiqih, bahwa jika
seseorang yang belum memiliki kemampuan (istitha'ah) untuk melaksanakan ibadah
haji ditawari hadiah Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) oleh lain, maka dia
tidak wajib menerima hadiah tersebut.
Arisan Haji untuk membayar Biaya Perjalanan Ibadah
Haji (BPIH) dengan tata cara sebagaimana disebutkan di atas atau yang serupa
adalah dilarang oleh agama Islam, karena alasan-alasan sebagai berikut:
Arisan Haji dengan pola sebagaimana disebutkan di atas atau sesamanya adalah
sama dan tidak berbeda dengan berhutang kepada orang lain. sehingga memberatkan
diri sendiri atau keluarga yang ditinggalkan jika ia wafat. Padahal Rasulullah
SAW telah melarang seseorang berhutang atau meminjam uang kepada orang lain
untuk membayar Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH). Sebagaimana disebutkan
dalam hadits yang diriwayatkan Imam Baihaqi:
عَنْ طَارِقٍ قَالَ سَمِعْتُ بْنَ أَبِيْ أَوْفَى يَسْأَلُ عَنِ الرَّجُلِ يَسْتَقْرِضُ وَيَحُجُّ قَالَ: يَسْتَرْزِقُ اللهُ وَلاَ يَسْتَقْرِضُ قَالَ وَكُنَّا نَقُوْل, لاَ يَسْتَقْرِضُ إِلاَّ أَنْ يًكُوْنَ لَهُ وَفَاءٌ
( رواه البيهقي)
"Sahabat Thariq berkata: Saya telah
mendengar sahabat yang bernama Abdullah ibn Abi Aufa bertanya kepada Rasulullah
SAW tentang seseorang yang tidak sanggup naik haji apakah dia boleh meminjam
uang untuk menunaikan ibadah haji? Nabi menjawab:Tidak boleh. (HR
Baihaqi)
Menurut Kitab Al-Muhadzdzab bahwa seseorang yang
berharta lalu kuasa berhaji maka ia harus berhaji. Tapi orang yang berharta
tetapi mempunyai hutang yang harus segera dibayar, maka baginya harus membayar
hutangnya, dan tidak wajib berhaji. Berhaji seharusnya dan wajib dilaksanakan
dengan perasaaan senang, dengan ketentuan mendahulukan membayar hutang daripada
melaksanakan hajinya.
Sehubungan dengan hal itu, Rasulullaoh SAW
bersabda :
عَنْ عَمْرٍو بْنِ يَحْيَى
اْلمَازِنِي عَنْ أَبِيْهِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ لاَ ضَرَرَ وَلاَضِرَارَ( رواه مالك
"Dari 'Amr bin Yahya al-Mazini dari ayahnya bahwa
Rasulullah SAW bersabda: (Seseorang) tidak boleh melakukan tindakan yang
merugikan diri sendiri atau merugikan orang lain",
Pada hakikatnya,
seseorang yang telah berhasil memenangkan undian Arisan Haji,sehingga
berhak menunaikan ibadah haji dengan biaya yang diperoleh dari uang arisan
adalah berhutang uang kepada para anggota arisan lainnya. Pinjaman tersebut
harus dibayar lunas, meskipun secara berangsur-angsur sesuai dengan aturan-aturan
dalam arisan. Jika ia meninggal dunia atau jatuh bangkrut sebelum membayar
lunas uang arisan, maka ia akan memikul beban hutang yang sangat berat. Karena
hutang yang belum terbayar akan menjadi beban hingga di akhirat.
Pandangan
Al-Qur’an Tentang Keluarga Berencana
Dalam al-Qur’an banyak sekali
ayat yang memberikan petunjuk yang perlu kita laksanakan dalam kaitannya dengan
KB diantaranya ialah :
Surat An-Nisa’ ayat 9:
وليخششش الذين لو تركوا من خلفهم
ذرية ضعافا خافوا عليهم فليتقواالله واليقولوا سديدا
“Dan hendaklah takut pada Allah
orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang
lemah. Mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang
benar”.
Selain ayat diatas masih banyak
ayat yang berisi petunjuk tentang pelaksanaan KB diantaranya ialah surat al-Qashas:
77, al-Baqarah: 233, Lukman: 14, al-Ahkaf: 15, al-Anfal: 53, dan at-Thalaq: 7.
Dari ayat-ayat diatas maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa petunjuk yang perlu dilaksanakan dalam KB antara lain,
menjaga kesehatan istri, mempertimbangkan kepentingan anak, memperhitungkan
biaya hidup brumah tangga.
C. Pandangan
al-Hadits Tentang Keluarga Berencana
Dalam Hadits Nabi diriwayatkan:
إنك تدر ورثك أغنياء خير من
أن تدرهم عالة لتكففون الناس (متفق عليه)
“sesungguhnya lebih baik bagimu
meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan dari pada meninggalkan
mereka menjadi beban atau tanggungan orang banyak.”
Dari hadits ini menjelaskan bahwa
suami istri mempertimbangkan tentang biaya rumah tangga selagi keduanya masih
hidup, jangan sampai anak-anak mereka menjadi beban bagi orang lain. Dengan
demikian pengaturan kelahiran anak hendaknya dipikirkan bersama.
D.
Hukum Keluarga Berencana
a. Menurut
al-Qur’an dan Hadits
Sebenarnya dalam al-Qur’an dan Hadits tidak ada nas yang shoreh yang melarang
atau memerintahkan KB secara eksplisit, karena hukum ber-KB harus dikembalikan kepada
kaidah hukum Islam, yaitu:
الا صل فى الأشياء الاباحة حتى يدل على الدليل على
تحريمها
Tetapi dalam al-Qur’an ada ayat-ayat yang berindikasi tentang diperbolehkannya
mengikuti program KB, yakni karena hal-hal berikut:
• Menghawatirkan
keselamatan jiwa atau kesehatan ibu. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
ولا تلقوا بأيديكم إلى التهلكة (البقرة : 195)
“Janganlah kalian menjerumuskan diri dalam kerusakan”.
•
Menghawatirkan keselamatan agama, akibat kesempitan penghidupan hal ini sesuai
dengan hadits Nabi:
كادا الفقر أن تكون كفرا
“Kefakiran atau kemiskinan itu mendekati kekufuran”.
• Menghawatirkan
kesehatan atau pendidikan anak-anak bila jarak kelahiran anak terlalu dekat
sebagai mana hadits Nabi:
ولا ضرر ولا ضرار
“Jangan
bahayakan dan jangan lupa membahayakan orang lain.[3]
b. Menurut
Pandangan Ulama’
1) Ulama’
yang memperbolehkan
Diantara ulama’ yang membolehkan adalah Imam al-Ghazali, Syaikh al-Hariri,
Syaikh Syalthut, Ulama’ yang membolehkan ini berpendapat bahwa diperbolehkan
mengikuti progaram KB dengan ketentuan antara lain, untuk menjaga kesehatan si
ibu, menghindari kesulitan ibu, untuk menjarangkan anak. Mereka juga
berpendapat bahwa perencanaan keluarga itu tidak sama dengan pembunuhan karena
pembunuhan itu berlaku ketika janin mencapai tahap ketujuh dari penciptaan.
Mereka mendasarkan pendapatnya pada surat al-Mu’minun ayat: 12, 13,
14.[4]
2) Ulama’
yang melarang
Selain ulama’ yang memperbolehkan ada para ulama’ yang melarang diantaranya
ialah Prof. Dr. Madkour, Abu A’la al-Maududi. Mereka melarang mengikuti KB
karena perbuatan itu termasuk membunuh keturunan seperti firman Allah:
ولا تقتلوا أولادكم من إملق نحن نرزقكم وإياهم
“Dan janganlah kamu membunuh
anak-anak kamu karena takut (kemiskinan) kami akan memberi rizkqi kepadamu dan
kepada mereka”.
0 Komentar untuk "Hukum islam tentang arisan haji"